Nasi tumpeng kerap kali kita temukan pada acara-acara perayaan, syukuran atau slametan.
Secara umum, kita mengetahui nasi tumpeng berasal dari Pulau Jawa. Namun, penggunaan nasi tumpeng sudah keluar dari batas geografisnya artinya tumpengan juga menjadi tradisi nusantara.
Namun, nasi tumpeng yang selama ini kita kenal sebagai nasi yang ditata berbentuk kerucut lengkap dengan laut pauknya tentu bukan sekadar menu perayaan saja, ada sarat makna yang tersimpan dalam sajian tersebut.
Jika ditarik dari sejarah dan filosofinya, ada banyak nilai yang tersirat di dalamnya. Untuk mengenal tumpeng lebih jauh, Kamis lalu, Aksara Pangan bekerja sama dengan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada kembali mengadakan webinar kedua untuk mengenalkan masakan nusantara lewat ‘Saresehan Tumpeng’.
Sebelumnya Aksara Pangan sukses mengangkat acara yang serupa dengan topik pembicaraan Nasi Kapau.
Kali ini pembahasan tumpeng masih dalam pakem Sejarah, Ragam dan Filosofi. Aksara Pangan menghadirkan tiga pembicara di antaranya Wira Hardiyansyah (seorang traveling chef, berbicara tentang sejarah tumpeng), Dr Dwi Larasatie Nur Fibri (Dosen Fakultas Pertanian UGM, bicara tentang ragam tumpeng) dan Cindy Kartika Sari (praktisi kuliner, berbicara tentang filosofi tumpeng).
Sejarah dan Filosofi Nasi Tumpeng
Dalam Webinar Aksara Pangan “Sarasehan Tumpeng”, Wira Hardiyansyah menjabarkan sejarah nasi tumpeng dapat ditarik jauh sebelum agama samawi berkembang di Indonesia, terutama agama hindu.
“Jauh sebelum agama samawi, ada dua agama nusantara yang dapat dikaitkan dengan sejarah tumpeng yakni agama Kapitayan dan agama Sunda,” ujar Wira.
Wira merujuk agama kapitayan dalam buku Atlas Walisongo. Agama Kapitayan adalah agama yang memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya.

Wira Hardiyansyah, menjelaskan tentang sejarah tumpeng
Makna dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan serta dideteksi dengan pancaindra. Dahulu kala, Agama Kapitayan dalam pemujaan mereka menggunakan sesaji atau sesajen berupa ayam dan keranjang bunga.
Di dalam buku Atlas Walisongo sesajen ini disebut sebagai tumpeng. Sementara kaitan tumpeng dalam agama Sunda berangkat dari sebuah dongeng.
Wira mengatakan masyarakat Sunda punya dongeng bahwa gunung terlahir dari sinergi matahari dan bumi. Gunung dianggap sakral bagi masyarakat Sunda.
Namun bentuk tumpeng yang berwujud kerucut, menurut Wira lebih dekat dengan simbol matahari.
Baca juga: Apa Beda Nasi Kapau dan Nasi Padang?
“Bentuk tumpeng hampir mirip dengan matahari. Kuning dalam tumpeng adalah simbol matahari,” kata Wira.
Dalam agama Sunda, nasi tumpeng dulunya ditambahkan ayam yang hidup tidak seperti lauk pauk yang biasanya disajikan pada tumpeng jaman sekarang.
Ayam pada nasi tumpeng dianggap sebagai simbol lahirnya matahari. Sementara nasi adalah simbol Dewi Sri.
“Nasi itu adalah sajen. Sajen di sini maksudnya adalah semua ciptaan Tuhan yang dipinjam sebagai kitab untuk berdoa, salah satunya adalah tumpeng,” jelas Wira.
Sementara secara filosofi, menurut Cindy Kartika Sari, Tumpeng sudah dikenal sejak ajaran Jawa kuno. Cindy menegaskan bahwa makna tumpeng sangat erat kaitannya dengan spritualisasi.

Cindy Kartika Sari menjelaskan filosofi tumpeng
“Tumpeng adalah bentuk rasa syukur dan komunikasi dengan tuhan yang tunggal atau pemusatan kepada kekuatan ilahi,”ujar dia.
Selain itu, Cindy juga memaknai bahwa tumpeng adalah simbol keselarasan dan harmonisasi. Mengenai bentuknya, praktisi kuliner ini setuju bahwa bentuk tumpeng memang harus kerucut.
“Kalau tidak berbentuk kerucut namanya Daharan atau nasi kreasi,” kata dia.
Cindy meyakini bahwa bentuk kerucut pada tumpeng sebenarnya dapat dipengaruhi oleh banyak latar belakang.
Ragam Nasi Tumpeng
Ada berbagai jenis tumpeng yang dikategorikan oleh Dwi Larasatie Nur Fibri, Dosen Fakultas Pertanian UGM.
Menurut dia, ada 38 jenis tumpeng di Indonesia yang telah dikumpulkan oleh Dwi.
“Saat ini kami mengumpulkan sekitar 38 jenis tumpeng di Indonesia, terutama di Yogya, Sunda dan Bali. Namun, ini belum selesai, mungkin masih banyak lagi yang perlu digali,” kata dia.
Menurut Dwi, dari 38 jenis tumpeng tersebut, umumnya menggunakan nasi tumpeng berwarna putih, di samping tumpeng yang berwarna kuning yang digunakan oleh orang Sunda.

Dwi Larasatie Nur Fibri menjelaskan ragam tumpeng
Selain berwarna putih dan kuning, ditemukan juga nasi tumpeng yang berwarna biru dan hijau. Untuk tumpeng tradisional biasa menggunakan nasi kuning, nasi putih, nasi gurih atau nasi tawar.
Kata Dwi, tumpeng tidak selalu berupa nasi putih, ada juga tumpeng modifikasi dari bahan lain seperti nasi goreng, singkong, dan tiwul.
Untuk lauk-pauk, 60 persen tumpeng menggunakan lauk-pauk dan sisanya adalah sayuran rebus.
Wow banyak sekali ya, ada 38 macam nasi tumpeng…
Kalau sekarang karena variasi kuliner makin banyak, di daerah tepatku tinggal ada yang jual nasi tumpeng dengan beragam warna, nggah hanya putih dan kuning. Ada ungu, hijau, biru, dll.
iya yang saya tahu nasi tumpeng warna putih dan kuning
Saat ini nasi tumpeng nggak hanya berwarna kuning. Bahkan mulai ada variasi ukuran juga kalau lihat di bisnis-bisnis kuliner.
Siapa yang mengira bahwa sejarah tumpeng ada kaitannya dengan keagamaan masa lalu.
kalau kita literasi, makanan nusantara itu ada story tellingnya
Sebagai orang Sumatera, saya sering lihat nasi tumpeng di TV. Ternyata ada 38 jenis nasi tumpeng, banyak juga. Selama ini lihatnya nasi tumpeng itu berwarna kuning, ada yang biru dan hijau juga toh. kalau warna hijau masih kebayang, tapi warna biru itu diwarnai pakai apa yah?
pewarna makanan hihi.
Aku baru tauuu, pantesan ya banyak orang mengadakan syukuran dengan tumpeng. Thanks artikelnya Kakk ?
yes, ada meaningnya.
Menarik banget filosofi mengenai nasi tumpeng. Sekarang makan nasi tumpeng kalo lagi ada acara launching kantor atau produk hahaha
bener banget, syukuranlah.
Tercerahkn dengb tulisan ini filosofinya panjang y kak.
Baru tahu ada tumpeng biru. Hehehe. Seperti apakah
cobain bikin mba hehe
Waaah, nasi tumpeng kesukaanku nh. Ternyata selain enak ada sejarah dan filosofi di baliknya ya, jadi nambah ilmu. Jadi nanti pas makan gak cuma menikmati rasanya aja. Salam kenal btw 🙂
Jujur nih saya baru tahu sekarang awal mula adanya nasi tumpeng, dan saya menyangkanya nasi tumpeng hanya ada di daerah sunda saja ternyata didaerah lain pun ada ?
Nggak nyangka kalau nasi tumpeng punya filosofi mendalam seperti itu. Terimakasih kak atas sharing informasi sejarah mengenai nasi tumpeng, jadi mulai sedikit paham tentag filosofi seperti kenapa nasi tupeng warna kuning dan berbentuk kerucut
Setahu saya soal nasi tumpeng, adalah nasi yang merujuk pada prosesi syukuran, semisal kek upacara adat yang sudah ada dan turun temukan dari adat budaya masa lalu, yang bertahan sampai sekarang.
Tulisan yang sangat bermanfaat?? jujur aja, kalo gak baca ini, saya gak bakal tau sejarah nasi tumpeng itu gimana. Saya berasal dari sumatera, dan nasi tumpeng itu sering disajikan pada saat acara2 besar.
Sangat menarik informasi tentang tumpeng ini. Di Sunda memang rata-rata kuning, dan biasanya dihadirkan ketika acara syukuran.
Dalam sebuah hidangan kuliner Nusantara yakni Tumpeng terdapat makna dan filosofi yang sangat mendalam.
Semakin membuktikan bahwa nenek moyang sangat kaya dalam segala hal, alam, wawasan, rohani, dan lainnya.
Berbanggalah Indonesia!
Oh iya saya sering denger juga kalau tumpeng di Sunda filosofinya dari bentuk gunung, karena itu tempat paling dekat ke langit/tuhan. Sekaligus hubungan manusia sama alam lingkungannya, karena gunung deket banget sama masyarakat tradisional bahkan disakralkan.
Baru tau yg pake nasi kuning itu khas Sunda, kirain semua tumpeng begitu. Ternyata ada banyak ragamnya.
Hmmm.. banyak juga sampai ada 38 jenis tumpeng di Indonesia (sambil mengingat-ingat berapa jenis tumpeng yang pernah aku santap) 🙂
Tapi citarasanya memang layak untuk tetap dipertahankan sebagai kuliner khas indonesia punya, swaaambel gooorengnya sama kering tempenya itu, lhoooo.. 😀