Seniberjalan.com__November 2015, masih terbayang dalam benak saya, bagaimana saya harus bergantian mengendarai motor dengan Wence karena pinggang pegel. Wence adalah teman seperjalanan saya saat pertama kali berkunjung ke Bali. Waktu itu Wence sempat mengeluh pegel di tengah perjalanan. Iyalah, perjalanan Gilimanuk- Denpasar ternyata cukup jauh. Apalagi kami nekad berkendara bergantian dengan sepeda motor.
Tekad kami memang sembrono, tidak tahu betul bahwa waktu tempuh Gilimanuk-Denpasar itu sekitar 3.5 jam dengan jarak 127 km. Karna tidak tahu jalan, perjalanan kami sempurna di durasi 5 jam. Perjalanan dari Gilimanuk mulai sekitar pukul 7 malam, sampai hotel Denpasar-Bali sekitar pukul 12 malam waktu Indonesia Tengah. Tulang terasa remuk saat rebahan di kasur. Kemoloran sampai di Bali sebenarnya adalah akumulasi masalah yang kami dapat di jalan.
Mulai dari kesalahan membaca GPS, berhenti untuk bertanya arah jalan, istirahat hingga sempat tertahan razia di kantor polisi dan kantor kependudukan sebelum masuk Bali. Pemerikasaan untuk masuk Bali, lumayan ketat. Karena tertahan cukup lama dan berjuang panjang untuk diizinkan jalan, akhirnya kami harus berangkat ke Denpasar di saat mulai gelap.
Ada rasa was-was berkendara malam-malam. Wence menawarkan diri menjadi sopir pertama motor Mio putih yang kami pinjam dari seorang kawan dari Banyuwangi. Minus mata Wence yang tinggi, membuat saya kuatir, apa penglihatannya akan terganggu saat melewati jalan Gilimanuk-Denpasar dengan lampu jalan yang minim, lalu sesekali harus memacu truk-truk besar penuh asap yang menghambat penglihatan kami.
Setengah perjalanan saya menggantikan Wence, meskipun saya juga berkacamata, masih bisa berkonsentrasi. Mengendarai motor atau berboncengan, pegelnya tetap sama saja. Jemari sudah kebas, tidak ber-power lagi memengang gas motor jelang memasuki Denpasar. Tapi, di tengah perjalanan kami mencoba menghibur bersama, sesekali Wence bernyanyi dan memberi semangat. Kadang saya bercanda sambil memastikan keberadaannya di belakang: masih ada di belakang wen?
Sampai di Denpasar, kami tidur di hotel lowbudget dengan kondisi tempat tidur seadanya, tidak ada bantal dan selimut. Itupun terpaksa karena tidak kuat lagi untuk berkendara mencari hotel lain. Kami hanya tidur sekitar 3 jam. Karena berada di waktu Indonesia Tengah, fajar lebih cepat muncul di Bali. Kami melanjutkan perjalanan lebih pagi dari Denpasar, kami tidak punya banyak waktu karena harus kembali hari itu juga ke Banyuwangi. Berbekal GPS lagi, kami hanya mengunjungi dua tempat di Bali yaitu Pantai Kuta dan Tanah Lot. Gelak tawa kami pecah sesampai tujuan, menertawakan kesembronoan perjalanan ini sebagai perayaan kegembiraan. Rasa capek bagai hilang saat kami menemukan dua tempat itu tanpa kendala. Puas!
Semula niat ke Bali bukanlah tujuan dari rangakaian perjalanan kami menelusur beberapa daerah di Pulau Jawa. Saya belum pernah ke Bali, sementara Wence sudah. Keindahan Bali hanya terbayangkan dari cerita-cerita banyak orang yang sudah mampir ke sana atau dari blog-blog perjalanan saja. Kini saya ikut mempercainya setelah melihat dan merasakan langsung.
Saat pulang kami menemukan jalan pintas, berkendarapun serasa singkat menuju Gilimanuk. Ah, tersesat itu biasa ya, mungkin itu remahan-remahan perjalanan. Kami sampai di Banyuwangi dengan pelukan teman-teman bercampur rasa bahagia dan kuatir karena ketika berniat meminjam motornya dan menyebrang tujuan kami hanya untuk mencari ayam betutu di Gilimanuk. “Kami berpikir kalian engga ke Bali (Denpasar) loh! aku tahu itu jauh!” ujar seorang teman.
Kemudian Kami melanjutkan perjalanan ke Bromo. Capek? Iya, tapi tetap saja kami masih memilih mendaki dengan berjalan kaki di Bromo. Kita pasti punya cara untuk menikmati perjalanan bukan? Sekalipun perjalanan itu sembrono.