Pernahkah kamu berpikir mengapa tumpeng selalu berbentuk kerucut dan disajikan saat syukuran atau perayaan penting? Di balik tampilannya yang khas dan meriah, tumpeng sarat makna spiritual dan jejak sejarah peradaban Nusantara, bahkan sebelum agama-agama besar masuk ke Indonesia.
Sejarah tumpeng menembus batas zaman. Wira Hardiyansyah, seorang chef sekaligus peneliti kuliner nusantara pernah menjelaskan bahwa tumpeng memiliki akar spiritual jauh sebelum datangnya agama samawi seperti Islam dan Kristen.
Wira menyebut dua kepercayaan lokal yang memengaruhi bentuk awal tumpeng: agama Kapitayan dan agama Sunda. Dalam Kapitayan, yang dikenal sebagai agama monoteistik leluhur Jawa, konsep ketuhanan disebut Sanghyang Taya, yakni kekosongan yang tak terjamah oleh pancaindra.
Untuk mendekatkan diri kepada Sanghyang Taya, masyarakat membuat sesajen berupa ayam dan bunga dalam wadah yang disebut tumpeng.
Sementara itu, dalam kepercayaan Sunda kuno, gunung dianggap suci karena diyakini lahir dari pertemuan matahari dan bumi. Tumpeng, dengan bentuk kerucutnya yang menyerupai gunung atau sinar matahari, adalah simbolisasi dari kekuatan ilahi. Bahkan ayam yang digunakan dalam tumpeng dulunya bukan ayam olahan, melainkan ayam hidup sebagai lambang kelahiran matahari.
Tumpeng kini telah menjadi ikon kuliner dalam berbagai acara penting: ulang tahun, syukuran rumah baru, hingga peresmian bisnis. Di luar tampilannya yang mencolok dengan bentuk kerucut dan aneka lauk pauk yang mengelilinginya, tumpeng sesungguhnya adalah simbol doa dan penghormatan.
Tradisi ini berasal dari tanah Jawa, namun kini telah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara sebagai bagian dari perayaan dan spiritualitas lokal.
Baca juga: Sup Ikan Batam, di Mana yang Paling Enak?
Sejarah Tumpeng: sebagai Media Doa dan Rasa Syukur
Tak hanya sebagai bentuk persembahan, tumpeng juga berfungsi sebagai medium spiritual. Menurut Cindy Kartika Sari, praktisi kuliner yang juga berbicara dalam acara tersebut, tumpeng adalah cara manusia Jawa kuno menyampaikan rasa syukur dan berkomunikasi dengan kekuatan ilahi. Tumpeng bukan hanya makanan, melainkan kitab doa yang disusun dari bahan-bahan ciptaan Tuhan.
Bentuk kerucut yang mengarah ke atas mencerminkan pemusatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, jika tumpeng tidak berbentuk kerucut, maka secara filosofis ia bukanlah tumpeng, melainkan hanya “nasi hias”.
Ragam Tumpeng di Pelosok Nusantara
Tradisi tumpeng ternyata sangat kaya ragamnya. Dr. Dwi Larasatie Nur Fibri, dosen Fakultas Pertanian UGM, mencatat setidaknya ada 38 jenis tumpeng yang berhasil dikumpulkan dari berbagai wilayah Indonesia, terutama dari Yogyakarta, Sunda, dan Bali. Jenis-jenis ini tidak hanya berbeda dari segi bentuk dan warna nasi, tetapi juga dari jenis bahan dan lauk yang digunakan.
Baca juga: Ketika Sarapan Menjadi Perayaan di Oakwood Grand Batam
Tumpeng tidak hanya dibuat dari nasi putih atau kuning saja, melainkan juga dari nasi gurih, nasi biru, nasi hijau, bahkan bahan non-nasi seperti singkong dan tiwul. Sementara dari segi lauk-pauk, sebagian besar tumpeng memadukan lauk hewani dengan sayur-mayur rebus sebagai simbol keseimbangan alam dan kehidupan.
Tumpeng bukan sekadar peninggalan dapur nenek moyang tapi bentuk konkret dari filosofi hidup masyarakat Nusantara yang menghargai keseimbangan, keselarasan, dan hubungan spiritual dengan alam dan Tuhan.
Dari bentuk kerucutnya yang menjulang, hingga makna dalam setiap butir nasinya, tumpeng mengajarkan kita bahwa makanan pun bisa menjadi media untuk mengingat siapa diri kita dan dari mana kita berasal.