Batam, Indonesia–Gasing Kepulauan Riau, mainan sederhana yang menjadi bagian penting dari ingatan kolektif masyarakat Melayu. Di pesisir Batam hingga pulau-pulau terpencil Natuna, gasing masih berputar, meski tak seramai dahulu.
Gasing bukan hanya milik Kepri. Di seluruh Nusantara, permainan ini dikenal dengan banyak nama: Panggal di Jawa Barat, Pukang di Lampung, Begasing di Kalimantan Timur, Maggasing di Sulawesi Selatan, hingga Paki di Bolaang Mongondow.
Namun, di Kepulauan Riau, gasing tidak sekadar permainan, tetap juga sebagai warisan budaya yang dilindungi hukum. Di Batam, gasing tercantum dalam Peraturan Daerah sebagai bagian dari upaya pemajuan kebudayaan Melayu.
Bentuk permainannya pun beragam. Di Natuna, gasing diputar dan diletakkan di atas kaca persegi, dan pemenangnya ditentukan dari siapa yang paling lama berputar.
Di Batam, Tanjungpinang, dan Karimun, gasing langsung diluncurkan ke tanah. Gasing yang kalah, alias lebih dulu berhenti, akan jadi sasaran untuk “dibanting” oleh gasing lain.
Tradisi ini masih hidup di Kecamatan Belakang Padang, tempat anak-anak dan orang dewasa berkumpul di lapangan untuk bermain, membiarkan gasing berputar dan melawan hukum gravitasi.
Baca juga: Tanjungpinang, Kota Klasik yang Menyimpan Sejarah dan Cita Rasa Melayu
Bahan Kayu Pembuat Gasing
Di balik setiap putaran gasing, ada cerita tentang bahan dan keahlian yang nyaris punah. Di Kepulauan Riau, khususnya Batam, gasing umumnya dibuat dari kayu stigi, jenis kayu keras yang tumbuh di batu dan sulit ditemukan. Jika tak ada stigi, pengrajin bisa beralih ke kayu asam atau kayu lebam yang lebih mudah dibentuk, meski tak sekuat bahan aslinya.
Pembuatan gasing memerlukan waktu dan ketelitian. Kayu dikikis hingga berbentuk bulat, menyerupai buah bengkoang, jantung pisang, atau piring terbalik. Bentuk menentukan karakter: gasing jantung punya kestabilan, gasing piring lebih agresif dalam benturan. Di bagian bawah, dipasang paksi, logam kecil yang menjadi sumbu dan penyeimbang saat gasing berputar.
Baca juga: Mengenal Tarempa, Desa Pesisir Terbesar di Kabupaten Anambas
Tali pemutar dulunya dibuat dari kulit pohon Bebaru, tanaman pantai yang kini jarang ditemukan. Dalam praktik modern, nilon sering jadi pengganti.
Meski zaman berubah dan plastik mulai menggantikan kayu, di desa Monggak Batam pembuatan gasing tradisional tetap dipertahankan. Di sanalah, permainan ini tidak hanya berputar di atas tanah tapi juga terus hidup di antara generasi.
Bentuk Gasing Kepulauan Riau
Secara umum, gasing dibuat dalam bentuk bulat, menyerupai buah bengkoang atau jantung pisang. Ada pula yang berukuran besar dengan bentuk seperti piring terbalik.
Gasing Kepulauan Riau menyerupai jantung pisang, gasing piring dengan bentuk melebar seperti piring, dan gasing berembang yang ukurannya lebih kecil.
Gasing terdiri dari beberapa bagian penting: kepala, badan, dan ujung bawah. Di bagian bawah dibuat lekukan sebagai tempat melilitkan tali pemutar.
Agar seimbang saat berputar, gasing dilengkapi dengan paksi, sebuah batang besi kecil yang dipasang di bagian bawah sebagai poros utama. Dengan paksi ini, gasing mampu berputar stabil di atas tanah atau permukaan keras lainnya.
Sejarah Gasing
Melansir situs Kemdikbud, nama gasing sendiri konon berasal dari dua suku kata: gang yang berarti lorong atau tempat terbuka, dan sing yang berarti suara. Dalam makna sederhana, gasing adalah permainan yang dimainkan di lahan kosong dan menghasilkan bunyi khas saat diputar.
Ada dua versi cerita yang dipercaya masyarakat Melayu tentang asal mula gasing. Versi pertama menyebut permainan ini berasal dari masyarakat pesisir timur Sumatra yang memanfaatkan buah berembang, buah pantai berbentuk bulat dengan ujung runcing, untuk diputar.
Versi lainnya menyebutkan bahwa permainan ini bermula dari anak-anak yang memutar telur, dan pemenangnya adalah yang telurnya berputar paling lama. Dari sini, berkembanglah ide membuat gasing dari kayu, ditambah tali agar bisa diputar lebih kencang dan lama.
Jejak historis gasing juga tercatat dalam kesusastraan Melayu klasik. Di masa Kesultanan Riau-Lingga, permainan ini sudah dikenal luas.
Salah satu tokoh penting Melayu, Raja Ali Haji, bahkan mencatat kosakata seputar permainan gasing dalam Kitab Pengetahuan Bahasa yang ia tulis.
Buku ini dicetak di Singapura tahun 1928, menjadi bukti bahwa gasing bukan hanya permainan rakyat biasa, tapi juga bagian dari kebudayaan yang terarsipkan.