Sejarah tudung manto dari Lingga tercatat sejak pertengahan abad ke-18, sekitar tahun 1755, saat kesultanan masih berjaya. Awalnya, tudung manto digunakan terbatas oleh kalangan bangsawan dan kerabat istana, menjadi bagian penting dari pakaian adat perempuan Melayu, terutama bagi mereka yang sudah menikah.

Setiap helai tudung manto berfungsi sebagai penutup kepala, tetapi juga sebagai simbol kehormatan, status sosial, dan kelengkapan adat dalam acara besar seperti pernikahan, kenduri, hingga upacara kerajaan.

Kini, meski kerajaan hanya tinggal cerita, tudung manto tetap bertahan sebagai warisan budaya. Selandang ini menjadi cerminan identitas masyarakat Lingga yang setia menjaga akar tradisi di tengah gempuran modernisasi.

Baca juga: Batu Belubang, Lingga, Desa Khatulistiwa Jadi Titik Singgah Yachter Internasional

Tudung Manto dikerjakan oleh Perempuan Lingga

Selendang ini dikerjakan oleh pengrajin perempuan di rumah panggung tradisional. Perempuan-perempuan Lingga menunduk khusyuk, jarum dan benang berkilau bergerak perlahan di atas kain hitam.

Semua dikerjakan dengan tangan, tanpa mesin, sehingga setiap helai tudung manto menjadi karya seni penuh kesabaran. Untuk menyelesaikan satu helai, pengrajin membutuhkan waktu antara dua minggu hingga sebulan.

Bahan yang digunakan pun istimewa: benang emas, perak, atau sintetis berkilau dengan teknik sulaman tradisional yang dikenal sebagai kerikam.

Tudung Manto_seniberjalan

Tudung Manto_seniberjalan

Di banyak daerah Melayu lain, kerajinan ini juga ditemukan, tetapi di Lingga ia tumbuh dengan ciri khas tersendiri hingga melahirkan identitas unik tudung manto.

Karena kerumitan dan keindahannya, tudung manto bernilai ekonomi cukup tinggi. Harga termurah sekitar Rp 800 ribu, sedangkan karya dengan motif rumit bisa mencapai Rp 2 juta per helai.

Membeli tudung manto berarti tidak hanya memiliki cendera mata, tetapi juga ikut menjaga roda ekonomi lokal, terutama bagi perempuan-perempuan pengrajin yang mengandalkan keterampilan ini sebagai sumber penghidupan.

Warisan Budaya Tak benda

Bagi masyarakat Lingga, tudung manto adalah simbol identitas dan bahasa budaya.

Karena nilai sejarah tudung manto dari Lingga yang begitu kuat, pada 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

Pengakuan ini kemudian diperkuat dengan sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal dari Kemenkumham, yang menjadi pelindung resmi agar kerajinan khas ini tidak diklaim pihak luar.

Baca juga: Mengenal Desa Batu Belubang di Kabupaten Lingga

Tudung manto juga menyimpan potensi besar sebagai alat diplomasi budaya. Jejaknya menghubungkan Lingga dengan Malaysia dan Singapura, mengingatkan bahwa ketiga wilayah itu dulu berada dalam satu lingkaran kebudayaan Melayu.

Melalui tudung manto, hubungan emosional dan sejarah serumpun bisa kembali dipererat. Bagi wisatawan yang berkunjung ke Lingga, membawa pulang tudung manto bukan sekadar membeli cendera mata.

Itu adalah cara sederhana untuk ikut menjaga warisan budaya yang lahir dari sejarah panjang kesultanan, dikerjakan dengan cinta oleh tangan-tangan pengrajin, dan diwariskan lintas generasi.

About the Author

Eliza G

Founder and Writer

Travel and Photo Enthusiast, Local Tourism Observer

View All Articles