seniberjalan.com__Bagi anda yang senang berwisata heritage, Kabupaten Karimun punya beberapa rujukan wisata sejarah andalan di Pulau Buru. Memang butuh sedikit perjuangan untuk menelusuri situs sejarah yang letaknya sulit dijangkau transportasi. Bukan mustahil dan tak ada salahnya mencari tahu dan mencoba datang ke Pulau Buru. Kita bisa menemukan objek-objek wisata berbau sejarah yang belum banyak diketahui warga Kepulauan Riau.
Pulau Buru menyajikan tapak sejarah yang cukup beragam. Ditemukan situs bersejarah ratusan tahun di pulau yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Karimun ini.
Saat mencoba menelusuri, ada berbagai catatan sejarah yang termuat dalam situs berupa makam, perigi, mesjid hingga vihara. Makam raja-raja terdahulu yang diprediksi sebagai orang yang pertama kali tinggal di Pulau Buru juga menjadi daerah tujuan wisata religi. Misalnya Makam Si Badang, Makam yang diyakini sebagai makam hulubalang kerajaan Lingga. Situs ini diantara heritage dari rangkaian telusur wisata sejarah di Pulau Buru.
Perjalanan terlebih dulu di mulai dengan berkunjungan ke situs bersejarah di Pulau Buru yang berusia lebih dari ratusan tahun. Situs ratusan tahun tersebut ditemukan pada Vihara Cetiya Tri Dharma. Sebuah vihara yang tak asing lagi bagi warga Pulau Buru Kabupaten Karimun, Kepri.
Tak sulit menemukan vihara ini, persisnya berada di bibir pantai di jalan Pendidikan RT 01 RW 06. Dari pelabuhan Mesjid Pulau Buru kira-kira berjarak 100 meter.
Vihara Cetiya termasuk Vihara tua. Diperkirakan berdiri sejak tahun 1832. Belum diketahui secara pasti, siapa penggagas pendirian bangunan ini. Namun, dari perkiraan warga di situ vihara tersebut di bangun sebelum berdirinya Mesjid Jami Abdul Ghani, situs religi lainnya di Pulau buru yang juga berumur tua.
Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, sebelum bernama Cetiya Tri Dharma, dulu vihara ini bernama Kelenteng Bu Sua Teng. Meskipun sudah berganti nama, nama Bu Sua Teng masih terpajang di atas pintu bangunan utama. Vihara Cetiya memiliki dua bangunan, bangunan utama dan bangunan tambahan. Kedua bangunan itu saling berseberangan.
Sebelah kiri atau yang berdekatan dengan laut. Bangunannya cukup luas, dilengkapi dengan gapura bernaga bertiang tinggi. Bangunan ini tidak terlepas dari pahatan berornamen naga dan ayam jago. Sedangkan bangun ke dua diseberang bangunan pertama, bangunannya tidak begitu luas.
Bangunan ke dua yang berukuran 10m x 5 m itulah yang menjadi bangunan utama atau yang pertama di bangun. Keberadaan bangunan utama ini masih dijaga keasliannya atau belum pernah di renovasi. Tampak masih kokoh. Vihara utama ini berlantai marmer. Sementara gentengnya sepertinya berasal dari Perancis karena bertuliskan cap Gichard Carvin and Cie, Marseille Standre.
Di bangunan utama ini, perbaikan yang dilakukan hanya sebatas dinding yang di plaster bila terjadi keretakan. Kemudian pada pintu utama dilakukan cat ulang dan penambahan pagar teralis setengah meter. Daun pintu dan kusennya masih menggunakan kayu lama.
Untuk menambah kenyamanan beribadah, barulah ditambah bangunan baru di depannya dengan ukuran yang lebih luas. Di bangun dengan dua posisi. Posisi pertama menjorok ke arah laut dan posisi ke dua berupa ruang terbuka dengan 12 tiang penyangga. Terdapat altar untuk membakar dupa dengan lebar satu meter dan tinggi setangah meter.
Sama halnya dengan vihara-vihara yang tersebar di Kepulauan Riau, pada perayaan imlek, Vihara Cetiya termasuk ramai di kunjungi orang tionghoa terutama untuk menggelar sembahyang. Setelah penambahan bangunan yang lebih luas, sangat membantu dan memberi keluwesan beribadah di saat pengunjung ramai.
Makam Badang
Makam Badang termasuk situs cagar budaya di pulau Buru. Lokasinya berada di tengah hutan kebun karet. Hanya tersedia jalan setapak menuju ke makam ini. Dengan menyewa motor, jarak sekitar 30 menit dari kota Buru menuju makam ini dapat dilewati.
Pemerintah daerah Karimun telah membuatkan bangunan untuk melindungi makam tersebut. Ukurannya tidak begitu luas atau 30m x 30 m, bercat kuning dan teduh dirindangi oleh pohon-pohon gaharu yang sudah berumur tua. Di depan makam, di bangun sebuah gapura kecil bertuliskan ” Situs Cagar Budaya Makam Badang Pulau Buru”.
Makam Badang diyakini sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang hulubalang kerajaan Lingga bernama Badang. Dimasanya Badang dikenal sebagai hulubalang yang berani dan memiliki kesaktian.
Semula, Badang hanyalah seorang nelayan biasa yang kerap menangkap ikan dengan lukah. Lukah merupakan alat penangkap ikan yang terbuat dari bambu. Suatu hari dia berduel dengan makhluk hitam untuk mengambil hasil tangkapan ikan dilukah itu. Badang berhasil mengalahkan si mahluk hitam dan mewarisi kekuatan dari mahluk itu.
Badang mengikuti berbagai sayembara sampai diangkat menjadi panglima raja di pelosok negeri. Dia terkenal sebagai orang yang kuat di pulau Buru. Ketika wafat, Badang dimakamkan oleh raja di Kelurahan Lubuk Puding ini.
Sejak ditemukan, makam ini banyak diziarahi orang, tidak hanya warga Karimun tetapi juga datang dari negri tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Pada hari -hari biasa, sepertinya warga setempat juga datang membersihkan makam itu.
Makam Badang memiliki sisi keunikan. Di makam ini disediakan sebilah kayu yang diletakkan dekat pusaranya. Tongkat ini digunakan sebagai ‘ritual’ untuk mengukur panjang makam. Caranya dengan merentangkan tangan dikayu. Saat mengukur dengan tongkat ini selalu mendapatkan ukuran yang berbeda untuk pengukuran pertama dan ke dua.
Memang makam Badang tergolong panjang dibandingkan ukuran tubuh orang sekarang, lebih dari dua kali rentangan dua tangan orang dewasa. Diyakini bila mendapatkan ukuran yang berlebih maka sipeziarah akan mendapatkan berkah, sebaliknya bila berkurang rezekinya sempit. Namun, masyarakat setempat berusaha untuk tidak menjadikan ritual tersebut sebagai keyakinan agar terhindar dari kesyirikan.
Mesjid Haji Abdul Ghani
Mesjid Haji Abdul Ghani merupakan mesjid tertua di Kabupaten Karimun. Diperkirakan di bangun sekitar abad ke 19 atau semasa kerajaan Riau-Lingga diperintah oleh Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah (1883-1977).
Sesuai asal namanya, mesjid tertua ini di bangun oleh seorang amir pertama di Pulau Buru, Raja Abdul Ghani bin Raja Haji Fisabilillah. Namun, mesjid ini lebih familiar dengan sebutan Mesjid Buru.
Melihat arsitektur bangunannya, konon arsitek mesjid ini masih sama dengan artisitek yang mengerjakan vihara yang berdekatan dengan mesjid tersebut. Dengan ciri-ciri pembangunan menara kerucut, mirip seperti ruang hio yang ada dikelenteng. Kemudian, bagian fentilasinya terbuat dari batu giok berwarna biru dan berukiran khas tiongkok.
Bangunananya tetap mempertahan ciri khas warna melayu yakni kuning. Mesjid Buru berukurang sedang dengan ruang utama luas sekitar 8m x 15 m. Memiliki kubah dengan 4 tiang setinggi 5 meter. Pengurus mesjid telah melakukan renovasi untuk memperluas teras agar bisa menampung banyak jamaah karena sebelumnya hanya bisa menampung 100 orang jamaah saja.
Sedangkan bangunan-bangunan yang dipertahankan keasliannya. Misalnya keberadaan perigi untuk mengambil air wuduk, masih dibiarkan sebagaimana asalnya.
Bagian pintu masuk utama juga dipertahankan keasliannya. Tingginya sekitar 2.30 meter dengan lebar 1.30 meter. Keunikan lain dari mesjid ini adalah terletak pada bagian menara. Ada sebuah menara yang di bangun disamping kanan mesjid dengan ketinggian 21 meter. Keberadaan menara itu difungsikan untuk mengumandangkan azan.
Sebagai pelancong bisa saja diizinkan naik ke atas dengan meminta izin terlebih dulu. Di dalam menara ini tersedia banyak anak tangga.
Menuju ke sana
Sebelum sampai ke sini tentu harus berlabuh ke pelabuhan domestik Tanjung Balai Karimun dulu kemudian melanjutkan ke pelabuhan antarpulau Boom Panjang Kpk, menuju pulau Buru. Lama perjalanan Batam-Karimun sekitar 1.5jam (Harbourbay). Karimun-pulau Buru sekitar 50 menit. Transportasi selama di pulau menuju situs-situs bersejarah menggunakan motor.