Seniberjalan.com – Pengalaman yang tak terlupakan menghadiri Festival Pariopo dan tidur di sana. Suasana begitu sepi dan damai, sedikit dingin karena tempat ini dikelilingi bukit dengan ketinggian sekitar 500 mdpl.
Apalagi seru di isi dengan rangkaian acara menarik, dengan penampilan musik pa’beng. Pa’beng adalah musik khas suku pariopo yang terbuat dari bambu berkolaborasi dengan pemusik dari Situbondo dan luar kota.
Malam yang sunyi di Pariopo makin syahdu dengan syair-syair yang dibawakan oleh seniman Situbondo.
Festival pariopo ke 2 kali ini bertema berkah hujan, dilaksanakan pada tanggal 27-28 november 2016 di Pariopo, Desa Bantal, Kec Asembagus, Kab Situbondo – Jawa Timur.
Festival ini akan menjadi agenda tahunan. Akses menuju Pariopo, dari pusat Kota Situbondo ambil arah ke timur menuju Asembagus. Di lampu merah taman kota belok kanan ngikuti jalan sampai ketemu gapura Desa Bantal. ikuti jalan itu. Jalanan sudah beraspal halus hanya 2 km terakhir masih jalanan tanah berbatu. Jika nyasar silahkan tanya ke warga.
Sehari sebelumnya, sembari menunggu rangkaian festival, saya keliling Pariopo di temani om agung dari Indonesia Green. Kami berjalan melewati jalanan menurun dan menyusuri sungai. Sumber mata air di desa itu berasal dari celah-celah pohon beringin yang besar. Airnya bersih dan segar diminum. Selain ke sumber mata air, kami juga naik ke bukit.
Puncak acara ini adalah pada hari ke dua. Saya tidak melewati Pojhian Hodo. Pojhian Hodo merupakan ritual memohon hujan yang dilakukan setiap tahun secara terus menerus.
Pelaku pojhian hodo berjumlah 15 orang, 14 lelaki dan 1 perempuan. Mereka memakai baju bernuansa hitam, selendang dan ikat kepala bercorak, gelang tangan dari janur kelapa, dan membawa pikulan yang berisi makanan. Dilengkapi juga dengan alat musik kendang, gong dan seruling.
Pojhian hodo memuat 3 unsur : musik, nyanyian dan tarian. Selesai ritual acara dilanjutkan dengan makan bersama. Ritual ini dilakukan di pelataran depan bato tomang (bato tomang adalah bahasa madura yang berarti batu tungku).
Pojhian hodo yang ditunggu-tunggu dimulai jam 2 siang. Ritual berlangsung sekitar satu jam dan tidak lama dari itu turun hujan lebat. Saya pun terjebak sampai malam dan pulang masih kondisi gerimis.
Ada rasa yang tertinggal di Pariopo dan pengen balik lagi suatu hari nanti. Di Pariopo saya bisa bersilaturahmi dengan manusia, alam dan Tuhan secara nyata.
*Aru
Pengen liat upacara hodonya kemaren sih tp sayang g bisaaa. Hiks
pengalaman yang menarik ya mbak…